Archive for January 2014

Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final!!




Versi terbaru dari Internet Download Manager (IDM) saat ini telah mencapai versi Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final Software ini salah satu favorit admin soalnya download jadi super kenceng dan ngebut banget. Fitur-fitur yang ada di versi ini umumnya hampir mirip dengan versi terdahulu namun bug-bug yang ada pada versi sebelumnya telah diperbaiki pada versi ini. Penasaran sob?

Apa itu Internet Download Manager?
Internet Download Manager adalah software yang memiliki logika pintar dan teknologi download multipart untuk mempercepat download. Tidak seperti download manager yang lainnya, Internet Download Manager mendownload file secara dinamis untuk mencapai kinerja percepatan pengunduhan file terbaik.
Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final!!
Fitur-fitur Internet Download Manager:
1. Download file secara dinamis
2. Mempercepat pengunduhan file
3. GUI yang mudah dan menarik
4. Kemampuan resume file secara cepat
5. Support sistem 32 bit dan 64 bit
6. Dan fitur mantap lainnya sob
silahkan dicoba versi terbaru Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final untuk mempercepat proses download file sobat. Software, games yang free, gratis dan full version hanya di ad4msan.com
Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final!!
Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final | Size: 7,1 MB
Internet Download Manager (IDM) 6.18 Build 12 Final!!

LONTARA MAKASSAR




Penemuan tulisan adalah sebuah prestasi pencapaian kebudayaan yang tinggi dalam sejarah peradaban umat manusia (Coulmas 1984:4)

Tulisan merupakan manifestasi kebudayaan tertinggi manusia. Seperti wujud kebudayaan lainnya, tulisan melampaui kuasa zaman sebagai atribut penting bagi entitas suatu bangsa. Segenap pemikiran dan kreatifitas peninggalan manusia dapat terawat utuh pada memori sejarah berkat dorongan yang kuat dari dalam diri sang penciptanya untuk mengabadikan hasil-hasil pemikiran mereka, yang akhirnya dikenang setiap saat ataupun diwariskan ke generasi keturunannya. Tulisan lahir dari sebuah aksara kemudian dirumpun dan melahirkan sebuah bahasa yang memiliki makna tentang apa yang dituliskan para penulisnya.
Namun, dari ratusan bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke, tidak semuanya memiliki aksara untuk merekam nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik bahasa itu. Beruntunglah Suku Makassar mampu mempertahankan warisan budaya literal tersebut. Sebagai salah satu suku besar di Indonesia, Bahasa Makassar merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki aksara yang dapat merekam, mencatat nilai-nilai luhur atau pesan-pesan, pangngadakkang atau adat istiadat. Padanyalah aksara ini disematkan dengan sebutan Lontara ri Makassar.
Untuk membuktikan betapa aksara lontarak ini begitu penting bagi seluruh aktivitas kehidupan Kerajaan Gowa, saya menyempatkan diri bertandan ke Museum Balla Lompoa (Rumah besar). Rumah panggung yang dulunya dijadikan kediaman Raja-Raja Gowa ini ternyata masih menyimpan benda pusaka kerajaan, termasuk mahkota kebesaran Raja Gowa (Salokoa) yang dilapisi emas murni seberat 1786 karat, tersimpan baik di salah satu ruangan. Namun, pihak pengelola tidak leluasa mengizinkan pengunjung melihat dari dekat benda yang dikeramatkan itu. Tidak sedikit yang harus mengelus dada, otoritas museum hanya membolehkan pihak kerabat kerajaan dan pejabat penting saja yang berhak melihat langsung mahkota yang konon telah digunakan sejak raja pertama, To Manurunga.
Museum yang terletak di pusat Kota Sungguminasa Kabupaten Gowa ini diminati banyak pengunjung. Hal ini terlihat pada daftar tamu. Hampir setiap hari memadati lokasi bersejarah ini. Selanjutnya dari luar museum, saya berpapasan dengan sejumlah murid sekolah dasar. Kedatangan mereka bertujuan mengenal sejarah masa lampau. Ketika menuju ruang pamer utama yang berada di bagian atas museum, langkah ku sengaja kupercepat sebagai eksperesi ketidaksabaranku melihat koleksi peninggalan Raja-Raja Gowa.
Berada di dalam bekas istana raja, bagi pribadi yang awam, saya berusaha menangkap aura karismatik bangunan bercorak coklat tua ini. Setiap sudut ruangan utama, dipajang profil dan gambar Raja Gowa. Saya menyadari pengetahuan terhadap sumber informasi yang akan ditelusuri ini belum maksimal tanpa didampingi seorang pemandu. Meski harus menunggu lama akhirnya sosok yang dinantikan pun hadir. Adalah A. Jufri Tanriballi, lelaki paruh bayah yang ternyata masih memiliki garis keturunan Raja Gowa ini adalah salah seorang pemandu di museum ini.
Meski hanya beberapa menit berbincang dengan pria berkaca-mata ini, pengetahuan tentang risalah sejarah Gowa begitu dikuasainya. Termasuk asal-muasal dan filosofis aksara lontara. Dari mulut beliaulah, saya peroleh informasi filosofis Lontara Makassar terinspirasi dari bentuk segi empat atau biasa disebut sulappa’ appa’. Menurut alumni sastra sejarah Unhas ini, pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar terhadap bentuk lontarak berprinsip pada dimensi mikrokosmos, melalui proses kejadian manusia yang berasal sulappa’ appa’ simbol dari empat unsur: tanah (butta), api (pepe’), air (je’ne’), dan angin (anging).
Obralan kami terus berlanjut, meski suasana museum dibuat gaduh oleh ratusan siswa sekolah dasar, pemandu ini masih semangat menjawab beberapa pertanyaan terkait aksara lontarak. Seraya menambahkan, sejarah aksara lontarak pertama kali diperkenalkan oleh Syahbandar ‘sabannarak” Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Pada masa itu Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa ke-X, Daeng Matanre Karaeng Mannguntungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Sementara Daeng Pamatte sebagai anak buahnya justru diamanahi dua jabatan sekaligus, yaitu Sabannarak (Syahbandar) merangkap Tumailalang (Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri). Sebagai menteri yang bertanggung jawab mengurusi kebutuhan kerajaan pada waktu itu, Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberi titah kepada Daeng Pamatte untuk membuat aksara yang dapat dipakai dalam komunikasi tulis-menulis. Tepat pada tahun 1538, Daeng Pamatte berhasil menciptakan Aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar tua. Akhirnya, Aksara Lontara terus bermetamorfosis hingga akhirnya dipermodern sesuai kebutuhan kerajaan. Saat ini bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab.
“Filsofis sulappa’ appa’ (persegi empat) inilah yang menyimbolkan unsur mikrokosmos dalam tubuh manusia. Seperti tanah, butta; api, pepe’; air, je’ne’; dan angina, anging;” kata Tanriballi
Usai berbincang dengan lelaki santun itu, saya lalu diajaknya menuju ruang belakang museum, di tempat ini masih tersimpan sejumlah perkakas peninggalan kerajaan, termasuk tiga contoh aksara lontarak terpajang membisu. Naskah lontara tersebut meliputi, pertama, aksara Lontara Toa Jangang-Jangang, yang merupakan aksara lontara tempo dulu. Kedua, aksara Lontara Sulapa’ Appa’, yang merupakan aksara lontara yang dipakai umum di masyarakat. Terakhir, aksara Lontara Bilang-Bilang, khusus dipakai di kerajaan yang dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan kerajaan. Tiga contoh aksara yang sebagian ditulis pada daun lontar itu bersemayam dalam lemari kaca yang diterangi pencahayaan cukup.
Setelah memperoleh informasi perihal filosofi Lontara Makasssar, batinku belum puas, masih menyimpan sejuta tanya. Akibat dorongan akumulasi keingintahuanku, selanjutnya saya berusaha menelusuri sejarah aksara ini hingga melacaknya pada beberapa literatur kajian Budaya Makassar. Kali ini saya berniat “menggeledah” isi perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar, sebagai penebus seluruh tanya yang masih mengendap di otak kananku.
Saya menyadari untuk menelusuri sejarah Makassar secara detail tentunya perpustakaan ini masih jauh dari yang diharapkan, bila dibandingkan dengan museum dan perpustakaan Universitas Laiden Belanda. Di negeri kincir itulah disebut sebagai “surga” bagi pengembara sejarah Nusantara termasuk Makassar. Sementara saya, di gudang buku ini hanya berhasil menemukan sebuah naskah yang ditulis Christian Pelras “Manusia Bugis”, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar - karangan Prof Mattulada dan Sejarah Lontarak Makassar karangan Syarifuddin Kulle.
Setelah mencatat sejumlah data, diperoleh informasi ternyata Kerajaan Gowa sudah lama mengenal aksara. Namun belum menemukan media yang tepat untuk dijadikan tempat menorehkan aksara. Barulah terpikirkan memanfaatkan pelepah daun lontar untuk menulis fatwa-fatwa kerajaan. Dipilihnya daun lontar ketika itu (abad 14) karena kertas belum dikenal, sementara Pohon Lontar banyak tumbuh. Aksara tersebut mulanya ditulis pada batang Pohon Katangka, batu dan kulit hewan, hanya saja kualitas tulisan tersebut tidak awet.
Barulah daun lontar dianggap efektif dan cocok untuk menuliskan aksara ini. Selain sebagai tumbuhan khas Gowa, Pohon Lontar juga dijadikan lambang kejantanan bagi kaum laki-laki. Pohon Lontar atau Talak termasuk tanaman multi guna. Hampir semua bagian pohonnya bermanfaar bagi kehidupan manausia. Misalnya batang, bisa dijadikan tiang rumah atau alat bajak sawah. Sementara seratnya dibuat topi atau anyaman lainnya. Buahnya bisa dimakan langsung dan buah yang sudah matang bisa dijadikan penganan. Selain itu buahnya pun bisa dijadikan gula, termasuk minuman tuak khas Makassar “ballo”. Konon pada zaman dahulu kala, minuman tradisional ini dijadikan sebagai simbol kejantanan bagi para pejuang. Menurut pengakuan para pejuang, setelah minum ballo, akan timbul keberanian dalam dirinya dan siap menghadapi lawan tanpa memikirkan risikonya. (1)



Lontara dan Pemaknaanya
Dalam tinjauan etimologi –cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata- Pelras menjelaskan, frasa daun lontar sepadan dengan raung = daun dan tala’ = lontar menjadi rauttalak atau rontalak dalam Bahasa Makassar. Kata rontala’ lalu mengalami proses metatesis menjadi lontara’(2). Dengan kata lain, kata ‘lontara’ murni berasal dari Bahasa Makassar.
Sementara berdasarkan silsilah aksara dunia, lontarak berpangkal dari aksara Dewanagari. Pendapat ini merujuk pada buku peninggalan Prof Mattulada, seorang Guru Besar bidang Antropologi Lingustik Unhas. Buku ini sempat saya “amankan” demi kepentingan studi. Dalam buku itu menyebutkan (3) asal-asul Aksara Lontara sehingga beliau (Mattulada) merasa yakin Aksara Makassar berasal dan Aksara Dewanegari, sebuah aksara dari daratan India bagian Utara. Informasi ini cukup beralasan, karena Aksara Dewanagari berpangkal dari Aksara Brahmi, yaitu tulisan yang digunakan di India semasa pemerintahan Raja Asoka (270 SM - 232 SM). Huruf ini ditulis dari kiri ke kanan meskipun berdasarkan Huruf Arab atau Huruf Fenisia di Timur Tengah yang ditulis dari kanan ke kiri. Aksara Brahmi ini untuk perkembangan aksara di Asia sangatlah penting, sebab merupakan cikal bakal semua aksara di India dan juga di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara.
Tidak hanya berhenti pada informasi Mattulada, saya lalu berupaya mengorek sejumlah keterangan untuk membandingkan informasi yang sebelumnya diuatarakan oleh pakar antropologi itu. Hingga akhirnya keterangan serupa saya peroleh pada buku La Galigo Menelusuri Warisan Sastra Dunia yang disusun oleh peneliti Unhas DR Nurhayati. Dalam buku itu menyebutkan baik Mills, Noorduya dan Fachruddin tiga peneliti Aksara Makassar sepakat bahwa lontara berasal dari Huruf Pallawa, salah satu rumpun Aksara Negarawi yang masuk ke Nusantara seiring dengan penyebaran Agama Hindu melalui Huruf Kawi lalu menyebar ke Sumatara bagian Utara. Namun perlu diberi sedikit catatan di sini, Bahasa Sansekerta tidak mutlak ditulis menggunakan aksara ini tapi bisa juga ditulis dengan banyak aksara lainnya, antara lain aksara-aksara Nusantara termaksud lontara
Berdasarkan catatan tersebut besar kemungkinan aksara Lontara Makassar yang dibuat oleh Daeng Pamatte berpangkal dari Aksara Pallawa (Dewanegari). Sejalan dengan pendapat itu, Basang (1972: 11) mengemukakan beberapa persamaan Aksara Dewanegari dengan Aksara Makassar, yaitu keduanya huruf silabis (satu huruf melambangkan satu suku kata); keduanya menggunakan alat bantu untuk menyatakan bunyi /i, e, o, dan u/; keduanya ditulis dari kiri ke kanan. Adapun Yatim (1983: 5) memperhatikan susunan abjadnya. Dia mengakui bahwa pengaturan abjad lontara telah sampai kepada kesadaran linguistik yang amat maju dan amat mirip dengan pengaturan Abjad Sanskerta, yang membedakan hanya bentuknya.
Kecerdasan Daeng Pamatte memang harus diakui; lewat tangan “dinginnyalah” masyarakat Makassar bisa mengetahui asal usul leluhur mereka melalui Aksara Lontara. Namun sosok Pamatte yang dikenal cerdik itu tidak terlepas dari berbagai pengaruh budaya yang melekat pada zamannya. Salah satunya pengaruh Hinduisme. Untuk ukuran sebuah peradaban setua di Nusantara, peradaban Hindu sudah mengenal dan menjadi pengguna Aksara Dewanegari. Seperti dapat dijumpai pada aksara Batak, Jawa kuno, Bali dan Samosir.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern beranggapan bahwa lontara di Sulawesi Selatan ada persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti Aksara Batak. Informasi ini, saya telusuri dan akhirnya sedikit menemukan titik terangnya. Seperti tercantum pada sebuah situs kekerabatan Malayu-Makassar dikisahkan tentang peperangan Raja Gowa yang bernama Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna ke Malaka dan daerah jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada masa pemerintahan Kerajaan Melayu dibawah kekuasaan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, Raja Gowa tersebut berhasil membawa harta rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang.
Melalaui riwayat inilah kita dapat melacak sepak terjang penguasa Gowa kala itu sehingga tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat orang¬-orang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dari merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya, mereka mengkombinasikan dan menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud tulisan Makassar sekarang. Namun tentunya kita dituntut objektif mengamati catatan sejarah, dengan demikian informasi ini bisa dijadikan rujukan meski keterangan tersebut sifatnya belum pasti. (4)*
Berdasarkan informasi ini dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan Aksara Makassar baru, merupakan hasil penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, Aksara Batak dan Aksara Makassar memiliki kesamaan. Namun sprit dan filosofis keduanya memiliki akar yang berbeda. Lontara Makassar memiliki filosofi mikrokosmos sulappa’ appa’ yang mengandung simbol empat unsur. Sementara Aksara Batak (surat batak) filosfisnya lebih menekankan pada aspek etika warisan aksara seperti pada terjemahan surat ni tangan berbunyi: Tulisan yang dapat (boleh) berubah, tetapi tidak boleh berubah-ubah. Maksudnya: Bunyi (isi) tulisan boleh berubah-ubah, tetapi bentuk huruf tidak boleh berubah-ubah.
Dengan demikian meski Aksara Lontara memilki kesamaan dengan Aksara Batak yang keduanya perpangkal pada Huruf Pallawa, namun lontarak tetap memilik identitas tersendiri yang berasal filosofi dan Budaya Makassar. Keterangan ini didukung oleh pendapat yang bersumber dari Lontara Patturioloanga ri Tugowaya, seperti disinyalir berbunyi sebagai berikut *(5).

“...iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka. Sabannara’na minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannara’, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontara’ Mangkasara’” (.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang. Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia juga Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat Lontara Makassar).

Dalam lontarak di atas terdapat kata ‘ampareki’ yang dapat berarti `membuat atau menciptakan', `menjadikan atau menyederhanakan'. Jadi, apabila kata ampareki diartikan menciptakan/membuat, dapatlah diartikan membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa Aksara Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte yang diilhami oleh pandangan hidup orang Makassar sendiri, yaitu sulapa’ appa’.

Rahasia Lontara
Selanjutnya, Mattulada (1991a: 68-9) menjelaskan bahwa terdapat anggapan di kalangan orang Makassar berkaitan dengan penciptaan tanda-tanda bunyi yang kemudian disebut Aksara Lontara dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan yang berpangkal pada mitologis orang Makassar yang memandang alam semesta ini sebagai sulappa’ appa’ yang berarti `segi empat belah ketupat'. Sarwa alam ini merupakan satu kesatuan yang dinyatakan dalam simbol S = sa yang berarti seua (tunggal atau esa). Demikian pula segala tanda bunyi dalam aksara lontarak bersumber dari s = sa.
Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang biasa disebut Urupu Sulappa’ Appa’ seperti berikut.

Selain itu ternyata Tradisi literer dengan menggunakan huruf lontara mengalami perkembangan paling pesat pada abad ketujuh belas. Dengan pengaruh contoh-contoh Sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai menuliskan tarikh yang setiap fakta (matter-of-fact) yang merinci pesatnya perkembangan Makassar. Tujuan penulisan ini adalah semata-mata agar raja-raja tidak dilupakan oleh anak-anak, cucu-cucu dan keturunannya, karena ada dua bahaya kebodohan yaitu kita merasa sebagai raja-raja besar atau orang lain menganggap kita orang-orang yang tidak berarti.
Tradisi yang sangat kokoh bagi pencatatan masa lampau ini didorong oleh bakat luar biasa dari Karaeng Patingngaloang (1600-1654), yang menyuruh seorang Ambon pelarian di Makassar agar menulis sejarah Maluku dalam Bahasa Melayu. Sebagai pemangku adat Kerajaan Makassar, Karaeng Patingngaloang membuat pembaruan-pembaruan istimewa dalam urusan pemetaan, letak istana, penerjemahan naskah-naskah kemiliteran dari Bangsa Portugis, Turki, dan Melayu ke dalam Bahasa Makassar. Di samping itu, kebiasaan menuliskan kelahiran, perkawinan, dan perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal dan utusan, pembangunan benteng dan istana serta berjangkitnya wabah dengan menggunakan sistem penanggalan ganda Masehi dan Hijriah merupakan kebiasaan Karaeng Patingngaloang yang tidak tertandingi oleh siapapun dalam hal kepadatan dan ketelitiannya.

Selain itu, penulisan dan penyalinan buku-buku Agama Islam dari Bahasa Melayu ke Bahasa Makassar (lontara) giat dilaksanakan. Berbagai lontara yang asalnya dari Bahasa Melayu diduga berasal dari zaman permulaan perkembangan Islam di Sulawesi Selatan (abad ke-17 dan 18), sampai sekarang masih populer di kalangan orang tua-tua Makassar. Lontara yang dimaksud antara lain: (1) Lontara perkawinan antara Sayidina Ali dengan Fatima, putri Rasululullah, (2) Lontara Nabi Yusuf dan percintaan Laila dan Majnun, (3) Sura’ bukkuru yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan lontara pau-paunna Sultanul Injilai,



Kepustakaan

1. Sejarah lontarak Makassar -Syarifuddin Kulle
2. Manusia bugis ( Pelras, 2006: 232),
3. Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat -- 1977), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990),

4. (Brown dalam Reid, 2004: 147; Museum nasional, 10/MP/NAS/76: 24).
5. McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa (Museum Nasional, 10/MP/NAS/76: 21; Mattulada, 1991: 4-85).

TOMANURUNG (Raja Gowa Pertama)


Bermula pada suatu petang di ruang redaksi, perdebatan itu mulai menderu. Beberapa pendapat mengemuka. Adu argument cukup menghangatkan suasana gerimis kala itu. Tidak seperti biasa ruangan 10 x 10 meter itu berubah menajdi panggung debat. Masing-masing diantara kita(wartawan) mencoba berskpekulasi tentang siapa sosok tumanrung yang diyakini sebagai manusia titisan dewa turun dari kayangan sebagai penyelamat umat yang diterba maslah. Tak ayal sosok ini dinobatkan sebagai raja gowa pertama pada dekade 1300-an. Singkat cerita akhirnya mitos tumanurung ini menajdi catatan penting diatas meja redakasi. Meski gerimis usai berulah,tetap saja suara debat kami masing mengema menebus malam yang kian berjarak itu.





Beberapa legenda tentang kehadiran sosok agung yang digambarkan sebagai ratu adil pembawa bahtera kedamain bagi suatu kaum memilki beragam kisah.Tidak hanya itu, setiap jalinan kisah senantiasa meninggalkan tafsiran dari beragam versi. Tak ayal banyak budayawan berpendapat, sejarah bangassa ini dibangun dari serpihan-serpihan mitos yang melekat kuat dalam budaya dan tradisi masyarakat.

Salah satunya Mitos Ratu Adil, hingga saat ini masih menyelimuti langit keyakinan budaya Jawa yang kental dengan cerita wayang. Tidak jarang dibayangkan Ratu Adil sebagai seorang pangeran dari kerajaan antah berantah atau seorang kesatria yang akan turun dari pertapaan seorang begawan yang ampuh. Pangeran atau kesatria inilah yang seharusnya memimpin bangsa Indonesia. Kisah ratu adil atau pangeran pingitan ditanah ajawa memilki kesamaan misi sebgaiai pembawa kedamain. Kisah ini nampaknya memelki persamaan dengan mitos tomanurung yang melegneda dibeberapa wilayah Sulawasi Selatan hanya saja, jika ratu adil diisyaratkan muncul saat akhir zaman, maka tomanurung di Sulsel ( Gowa, Bone, Soppeng, Wajo, Bantaeng, Luwu dan Toraja. ) justru hadir sekitar tahun 1300an yang samapai ini masih menyimpan sejuta Tanya.

Untuk menjawab perdebatan diruang redaksi tempo hari, saya mencoba mengumpulkan sisa-sisa jejak tomanrung yang barang kali masih bisa ditelusuri. Hari pertama, saya awali mengeledah isi Perpustakan Daerah, yang bertempat di Jalan Sultan Alauddin, Makassar, berharap menukan tomanurung bersembunyi dibalik lipatan naskah kono. Isi lemari bagian belakang, dipenuhi koleksi naskah lampau jadi sasaran keingintahuakanku. Satupersatu tangan ku mulai memegang sejumlah buku berharap ada kisah kehadiran sang “juru selamat” itu gumamku. Beruntunglah sebuah buku karangan Pananrangi Hamid, seorang pengiat sejarah Sulsel bertajuk Sejarah Dearah Gowa menjadi rujukan utama. Alasanya dalam buku cetakan 1996 itu menyimpan beberapa catatan lontarak yang disadur dari naskah purrilolowi.

Buku Pananrangi yang mulai rapuh itu mengurai beberapa kisah terkait tomanurung. Misalnya, dalam tinjuan etimologi, kata tomanurung merupakan satu istilah yang berasal dari gabungan dua kata bahasa Makassar, yaitu to, dan manurung. Kata to diambil dari kata dasar tau yang bermakna orang, sedangkan manurung diambil dari ma dan turung yang berti turun (dari atas). Dengan demikian sejumlah pakar beranggapan istilah to manurung bermakna orang yang turun dari kayangan. Seperti dilansir oleh Pananrangi dalam bukunya yang kini tersimpan dilemari kaca perpustakaan daerah .

Pemaknaan sempit ini lalu berkembang, seiring dengan jelajah spiritual masyarakat Makassar dan akhirnya berbuah menjadi mitos yang diyakini secara temurun hingga mempengaruhi tradisi di dearah ini. Namun perlu ditegaskan. Mitos merupakan pengetahuan manusia tradisional yang dipakai untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan manusia tentang alam semesta. Dahulu mitos berdetak di setiap jantung peradaban,mitos adalah sebuah jawaban penting bagi semua insan, dan mitos bukanlah sebuah dongeng. Dahulu mitos merupakan rumah pengetahuan. Kini, peradaban telah bergeser dan nalar sebuah mitos pun mulai dipinggirkan. Bugitu juga Unsure mitos yang dilekatkan pada skaraliasasi sosok tumanurun, sudah barang tentu ditafsirkan berdsasrkan kondisi situasional masyarakat yang menagnutnya

Konsepsi masyarakat Gowa Makassar terhadap Tomanurung

Untuk mengetahui bagaimana persisnya masyarakat Gowa memandang tomurung, saya merujuk informasi itu dalam naskah yang disadur ulang oleh B.F Mahtess, yaitu, lontarak patturiyolowanga. Berdasarkan kumpulan naskah lontarak tersebut, ahli bahasa berkebangasaan Belanda itu menerbitkan buku Makaasasr Chritomate, sebuah ulasan histories tentang aspek sosial yang terjadi di Makassar, salah satunya juga memuat konsepsi masyarakat terhadap tomanurung khusunya di Makassar . Berikut nukilan dalam lontarak Patturiyolowanga:
“tumanurunga sikalabini karaeng Bayo….iya na nikana ri turiyolowa tumanurung ka-taniassengai kabattuawanna siyangang kamatoyanna..nikanaja mallayangi. Iyami nabaineyang karaeng bayo…4)
Artinya: Tumanurung itu berlaki bini dengan karaeng Bayo, beliaulah yang dikenal orang orang dahulu sebagai tumanurung,karena tidak diketahui tentang akhir hayatnya hanya dikatakan gaib . Beliaulah yang diperistrrikan oleh kareang Bayo

Hasil transkipsi Matthes dalam Makassar Christomatie (hal 137) tidak lain adalah saduran lontarak patturiyolowanga, mencoba memberi arti khusus pada sosok wanita gaib yang sedari awal tidak diketahui asal usulnya. Namun nampaknya arti penting bagi Mathess tetap mengagap tumanurung adalah manusia keturnunan dewa-dewa yang selanjutnya dipercayakan sebagai raja pertama kerajaan Gowa. Cukup sulit diterima, bagi sosok intelek dan rohaniawan se kaliber Matthes masih terselubung awan mistis yang di negeri asalnya telah lama redup. Muncul dugaan, apakah benar figur ini terlibat dalam pola demitologi sejarah?

Cukup banyak data yang menyebutkan adanya upaya rekayasa sejarah yang diseting oleh mathes, salah satunya dalam proyek transkipsi sinlrik kalatuarilaow.

Tidak puas dengan informasi tersebut, saya mencoba mendalami data Dalam eksklopedia sejarah sulawesi selatan kurung waktu 1905. Dalam riwayatnya, pengakatan dan penobatan tumanurung menjadi raja bukan didasari pada kesaktian, tapi lebih karena ada karismatik yang melekat pada sosok tumanurung sehinnga mampu meredam konflik di wilayah Gowa. Namun perlu dikemukan, sebelum kedatangan Tomuanurung, keadaan Gowa purba kala itu belum terlalu banyak diketahui. Berbagai bukti peninggalan masa silam buah dari hasil temuan kajian purbakala, belum memadai mengungkap tabir sejarah Gowa purba, kecuali satu yang berhasil ditemukan ialah, sejak zaman paleolithikum (batu tua) sudah banyak ditemukan flakes, yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Itu artinya, telah ada tanda-tanda kehidupan masyarakat disekitar kawasan Gowa. Dalam beberapa naskah lontarak maupun cerita-cerita rakyat, tidak menujukan keterangan yang detail, namun ada beberapa hal patut dijadikan kajian dalam membantu menguarai siapa sosok tumanurung yang diyakini sebgaian masyarakat Gowa sebagai titisan dewata. Kali ini Mathees tetep saya posisikan sebagai bagian dalam memecah kebekuan sosok gaib ini. Seperti tercantum dalam Makassar Christomatis menyebutkan : A kana-kanai uru’mangelena karaeng kasiwiyang salapanga. Makasampulona pa’callaya. Kammami ann kanaya. (lihat hal 55)

Artinya :
“memperbincangkan perihal pengakatan kareang yang dipertuan oleh kasiwiyang salapang beserta pa’callaya. Beginilah riwayat perihal dinobatkanya raja yang dipertuan di Gowa, berucap kasiwiyang salampanga, kasiwiyang di Tombolo, kasiwiyang di Lakiyung, Kasiwiyang Salapanga, Kasiwiyang di Samata, Kasiwiyang Pasampareng, Kasiwiyang di data’, kasiwuyang di Yagang je’ne, kasiwiyang di besei, kasiwiyang di sero, kasiwiyang di kalling, yang terletak disebelah utara besei dan kesepeuluhnya pa’callaya.”

Berdasasrakan informasi tersebut, daerah Gowa pada massa sebelum kedatangan tumanurung telah terbagi dalam sembilan wilayah (kerajaan kecil) yang masing-masing wilayah itu berada dalam kendali seorang pemimpin yang disebut kasuwiyang. kasuwiyang ini tak lain adalah abdi masyrakat. Ke sembilan kerajaan kecil ini dipersatukan oleh tokoh yang berkelar pacallaya seorang ahli hukum.

Keadaan daerah Gowa sebelum datangnya tomanurung merupakan daerah gabungan dari sembilan negeri kecil yang berada dalam wilayah : Tombolo, Lakiyung, Samata, Patamparang, Data, Agang je’ne bisei sero dan Kalling

Selain negeri- negeri bersangkutan seperti dikemukakan oleh mathess, ternyata kala itu disekitar Gowa telah ada bebetrapa negeri lainnya. Gowa masig belum memelki daerah kekuasaan yang luas seperti massa kejayaan Sultan Hasanuddin. Jika demikian, seperti apa hubungan antara Gowa dengan negeri-negeri disekitarnya. Menurut catatan lontarak, negeri negeri tesebut kurang membina hubungan baik dengan pihak Gowa. Kerap kali terjadi pertikaian yang berakhir saling perang. Seperti pada kutipan berikut ini:

….Na-nitalluimo bedeng nibundu’ Gowa ri tugabbssika ri tu untiya ri tu Lambengi

Artinya: ..konon diperangilah gowa oleh orang-orang dari tiga negeri, yaitu: orang-orang garassi, orang-orang negeri unti, dan orang-orang dari negeri Lambengi


Sejauh ini belum ada kepastian lebih lanjut terkait tiga kerajaan kecil, terlibat konflik dengan wilayah kasuwiyang di Gowa. Dengan demikian, disimpulkan konflik di Gowa sejatinya datang dari dua penjuru. Yaitu, konflik internal, melibatkan sembilan kasuwiyang, juga konflik eksternal, melibatkan tiga kerajaan sekitar Gowa. Dari titik inilah menurut …. Gowa menjadi hirukuk pikuk politik sehingga menjadi sasaran empuk serangan kaum Garassi, Untia, dan Lambengi. Tidak ada catatan khusus tentang tiga kaum yang pernah menabuh perang dengan Gowa ini. Bahkan, dikisahkan setelah perang berakhir, konon terdengar kabar di sebuah tempat bernama Takak Bassia seorang wanita anngun turun dari Kayangan. bersama dokohnya, piring jawa, beserta istananya yang sebesar lima petak di dekat sebatang pohon mangga jombe-jombea.


Paccallayya dan raja-raja pun pergi mendatangi tempat tersebut. Ketika itu mereka mendapati cantik mengenakan sebuah dokoh. Rombangan patesapang dan pacalaya tidak mengenal nama asli perempuan tersebut. Dialah wanita yang turun dari kayangan Lalu berkatalah Paccallayya dan raja-raja kecil kepada perempuan Tumanurung (turun dari langit) itu agar maksud dipertuan. Kisah tentang percakapan anatara betesalapanmg kauwing dan tomurung ini oleh sebagain kalangan akademik dinilain sebagai bentuk iktan kotrak poltik legitimasi kekeuasasan.


Namnu perlu diketahui, sebelum kedatangan tumanurng proses interaksi sosial kala itu sudah mengenal sistem msuyarah mufakat. Cara ini bukan hanya dilakukan antara pimpinan dengan anggotab masyarakat yang berada dalam sebuh komunitas , tetapi diberlakukan seluruh masyrakat terutama membagun komunikasi denagn para kasiwiyang yang di mediasi oleh pacallaya. Seperti terulis dalam lontark berikut ini:

“anjo nikana pa’callaya. Iya bedeng a’tanga raki kanana kasiwiyang salapnag. Iyaminjo nikana bate salapangan ri gowa…….(lihat hal 58)

Artinya:

“yang digelar pacalaya, ialah yang membimbing baik buruknya pembicaraaan kasuwiyang salapanga. Metreka yang diberi gelar bete salapanga di gowa. Bete salapanga itulah sebelum adanya karang. Apabilah muncul masalah bermufakatlah mereaka (kesembilan)dan disertai kesepuluh (pacalaya)untuk merumus kata mufakat. Kesembilan kaiwiyang dan pacalaya mengambil kata sepakat dam menyimpulkan pemikiran karena belum adanya kareang. Mereka tidk saling bersitegang urat leher tidak saling mengambil hak masing-masing….sesudah itu, bete salapang berserta apcalaya mengadakan majelis sehingga diambil kesepekatan untuk memilih dan mangakat seorang karaang


Kutipan dalam lontarak tersebut dalam tafsiranya menjelaskan masyarakat didearah Gowa, sebelum kedatangan tomanurung telah dibimbing oleh pemimpin masing masing secara otonom, mereka telah menjalin sebuah tatanan pemerintahan domokratis. Meski sifatnya masih dalam kendali kausa pemimipin yang disebut kasuwiyang. Dalam prosesnya manakala terajdi suatu maslah dalam kehidupan sosial mereka, maka sang pemimpin akan menggelar majelis musyawarah, melibatkan langsung pacallaya sebagai mediator. Majaelis ini nantinya akan merumuskan seluruh usulan ataupun pendapat warga.

Seiring waktu, gejolak dalam lingkar kasuwiyang kian alot. Masing—masing mengklaim sebagai pemimpin yang mampu membawa perubahan bagi masyarakat. Berhubung kondisi saat itu caos. Seperti digambarkan pada lontarak ……bahwa tidak ada sistem atau aturan hukum yang mengatur tentang penyimpangan. Maka disaat itulah masyarkat membutuhkan sosok yang mampu mendamaikan hirukpikuk politik yang berefek pada kekacauan massal. Dengan demikian, melihat situasi kian tak terkendali toko masyrakat Gowa yang tergabung dalam bete salapang dan pacalaya akhirnya kewalahan mengahadapi situasi poltik yang kian meruncing. Dari titik inilah bete salapang bermufakat mencari dan mengakat seorang pengusa yang dinilai cakap meredam gejolak ini.

Di antara raja-raja kecil pun merasa enggan untuk mengangkat salah satu dari mereka untuk dijadikan raja. Hal itu ternyata membuat banyak terjadi perselisihan di antara raja, namun peran seorang paclaya cukup stetegis memmediasi kemamuaan sembilan kasuwiyang ini. Hingga akhirnya konon meyakini dan menyerahkan “kekeuassan “ kepada sang gaib yaitu tumanurng. Yang terikat dalam beberapa perjanjian yang selanjutnay oleh beebrapa pakar disebut sebagai kontarak sosial


Mengenal lebih dekat sosok tomanurung
Sejarah terbentuknya beberapa kerajaan besar di Sulsel selalu diawali dengan kehadiran seorang (tomanurung).Baik di Gowa, Bone, Bantaeng Soppeng, Wajo, Toraja dan Luwuk, sebelum kehadiran sosok gaib itu, selalu diawali dengan fenomena alam yang luar biasa. Muncul sejumlah aggapan, fenomena alam itu sebagai isyarat menumpas tabiat buruk yang melandah dearah itu. Jika benar demikian, lantas, siapa sebenarnya sosok gaib ini? Sebegitu gaib kah ia, hingga masyarakat hanya mengenalnya sebagai bidadari turun dari kayangan? Benarkah ia keturanan dewata? Padahal sejarah sejumlah bangsa pada tahun 1300 sudah mengubur kenangan dinamisme. Tahun 1300-an di Eropa telah merayakan kehadiran zaman renaicense, dimana ilmu pengetahuan mecapai titik puncaknya. Salah satunya adalah pada tahun 1300-an kacamata sebagai alat bantu medik mulai diproduksi dengna pesat di Venesia. Di Amerika Selatan suku Maya telah mengembangkan sistem angka termasuk angka nol sebelum hal ini dilakukan masyarakat India. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim dengan karyanya yang legendaris, The Muqaddimah, hidup pada zaman itu. Terlampau jauh untuk menenjadikan nusantara, terlebih zaman Gowa purba jika diseterakan dengan perkemabangan pesat kawasan Eropa. Paling tidak bukti ini sedikit memperjelas bahwa sebenarnya zaman mitologi telah bergeser ke arah peradaban yang lebih maju. Jika benar adanya, ada kemungkinan sosok Tomanurung jusrtu hanya dijadikan sebagai rekaan atas gejolak kepentingan kekausaan sembilan bate? Untuk memecah kebekuan atas pertanyaan itu, saya bangun komunikasi dengan beberapa orang yang yang memiliki informasi sejarah lisan. Diataranya Iwan Gunawan Bangsawan dalam komemtar pada sebuah situs jejaring sosial, ia sedikit memberikan berbagai prespektif, baginya berdasarkan sejarah lisan, konsep Tumanurung bukanlah berarti orang yang turun atau berasal dari langit. Namun orang yang memang dipersiapkan secara khusus untuk menjadi Somba di Gowa. Karena itu ia diajari dan dibekali dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan agar dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai Somba. Salah satunya (selain ilmu ketatanegaraan, dll) disebut dengan "tari" Bunga Tonjong na Gowa. Konon, Danau Mawang menjadi tempat untuk belajar dan melatih "tarian" ini. Logikanya, bila seseorang mampu "menari" di atas daun teratai (bunga tonjong), tentu tidak terlalu sulit baginya untuk "kelihatan" melayang di udara (seakan-akan turun dari langit). Konon, keahlian ini yang diperagakan oleh Tumanurung Bainea (Somba pertama Gowa) ketika pertama kali "muncul" dihadapan "rakyat" Gowa. Keahlian ini pula yang sering diperagakan oleh Somba sesudahnya yang mampu berburu rusa sambil berdiri di atas pelana kudanya.
Demikian versi lisan yang pernah ia dengar.

Selain itu seorang seniman Gowa. Dang Tutu, justru melontarkan kritikan terhadap bangunan keyakinan masyarakat yang selama ini masih mengendap. Dirinya menduka ada setingan politik yang terjadi dalam kisah tumanurung, baginya tomanurung tak ubahnya sebagai mitos. Bagi seorang muslim tentu Ia tidak pecaya kisah tumnaurung, namun sebagai warga Gowa yang dilekatkan pada tardisi leluhur ia mangaku menghormati kepercayaan itu.
Terkait setingan politik masa lalu, saya berusaha menanyai pada lelaki berusia 55 tahun ini. Mulanya ia enggan berkomentar, raut mukanya soalah berdamai dengan keteguhannya, sesekali anggukan kening tebalnya mengerut lalu mamalingkan kepala, menuduk dan akhirnya ia pun berbaik hati sedikit menceritakan apa sebenarnya yang terjadi dalam sknario kedatangan tumnurung.
“ Berdsarkan cerita-cerita lelehur sebenarnya ada rekayasa sestemik antara dua kasuwiyang besar yang berpengaruh dengan melipatkan pacalaya demi meredam konfilk tujuh kasuwiyang. Nah dua kasuyang ini adalah Tombolo dan Mangassa. Mereka dinilai cakap dan rasional. Kemungkinan, dari dua kasuwiyang inilah sejarah itu ditutupi dengan mengahdirkan cerita tentang sosok spritualis yang dikenal dengan tomanurung yang sesunghnya tidak ada.” Ujarnya santun!

Bukan tanpa alasan kedua kasuwiyang ini cukup dikaumi masyrakat kala itu, kewibawanya menurut seniman sinlrik iniDang Tutu mampu menebus tembok kekeuasaan kerajaan. Hingga kini dua kasuwiyang ini mendapat tempat terhormat dalam lingkup tradisi adat Gowa. Kewibawaan dua kasuwiyang menurut lelaki berpeci hitam ini nampak ketika sembilan gallarang bertemu raja, meski penguasa tersebut lagi dalam pembaringan (tidur) tidak ada alasan bagi raja tidak menemui mereka, tapi sebaliknya, jika raja bertemu salah satu dari meraka yang kebetulan lagi tidur, maka raja harus kembali atau menunggu sampai kasuwiyang ini bagun.

Untuk saat ini Salah satu tokoh nasional yang dilahirkan dari gallarang tombola yaitu prof Rias Rasid.

Tidak hanya Dang Tutu, saya lalu mengkomfirmasi cerita tomanurung kepada magau Tallo ke 19 I Paricu Dang Manaba di sekretariat Lemabaga Adat Kesultanan Tallo di kompleks benteng Roterdam. Raja muda ini mengaku sebagai seorang muslim taat, meyakini tidak ada lagi manusia dimuka bumi ini yang turun dari langit setelah nabi Adam dan Hawa. Lelaki berkamis coklat ini hanhya memberikan penjelasan tanpa mengurainya lebih detail. Saya harus berlapang dada, menghormati sikap beliau tentang rahasia tomnurung di kalangan Makasssar dan Tallo.

Pendapat bebrapa pakar

Untuk menelusuri jejek tomanurung, saya tetap bersandar pada beberapa pustaka yang relefan dalam penulisan ini, namun tidak juga hanya mengndalkan satu keyakinan objketif untuk meperkaya khazanah mitos tomanurung, sehingga saya dituntut melipatkan beberapa keterangan pakar yang dinilai mampuni melihat mitos ini dari perspektif keilmuan mereka. diantaranya adalah Mattulada. Seorang guru besar antaropologi Universitas Hasanuddin, katerangan darinya saya peroleh dalam tulisan yang dipaparkan oleh Anwar Ibrahim yang saya kutip dari catatan blogspot DR. Alwi Rahman, seorang akademisi sekaligus penggiat kajian budaya dan politik di Makassar. Dalam catatan itu Matulada memberikan pendefinisian tentang alur kekuassan Makassar ataupun bugis dalam tinjaun lakon politik tomanurung. Salah satunya tertulis sebagai berikut: Mitos tomanurung sebenarnya merupakan salah satu strategi memperoleh legitimasi kekuasaan. Mattulda menilai kedatangan tomanurung amat dihajatkan untuk mengakhiri keadaaan kacau balau yang cukup lama terajadi di daerah Gowa. Untuk meredam situasi tersebut kedatangan tomanurung diperlukan guna menuntun bagaimana kebebasan dan kemerdekaan pribadi dan kelompok yang bertikai dapat berguna bagi kesejahteraan bersama.
Dengan demikian , mitos tomanurung memberikan legitimasi, bukan hanya pada kekuasaan melainkan memberi legitimasi pada sistem stratifikasi sosial masyarakat

Sementara bagi Abu hamid, juga guru besar atropologi Unhas yang giat meneliti kebudayaan Islam di Sulsel memandang, ide atas kedatangan tomanurung dipahami warga sebagai pembawah pembaharuan serta melindungi rakyat dari musuh. Perjanjian antara gallarang, pacalaya dan tomanurung dipandangnya sebagai kontrak sosial. Jika dilihat dari ukuran zaman, menurut Abu Hamid sudah mengandung ciri ciri modernitas. Lebih lanjut legitimasi dan ketaatan tomanurung beserta raja-raja berdasar pada isi dan ide yang terkandung dalam perjanjian teresbeut. Sehinnga mitos tomanurung dan kontrak sosial yang menyertainya merupakan setrategi menyatukan kaum-kaum yang selalu bertikai.

Sama halnya penjelasasn yang disampaikan oleh ahli hukum Andi Zainal Abidin memandang mitos tomanurung sebagai mitos politik, yang memberikan legitimasi kekuasaan bagi anak cucu pewarisnya untuk memegang kelanjutan kekuasaan. Menurut Zainal unsur mitos politik terdapat pula pada pendahuluan lontarak Bugis dan Makassar yang mengisahkan tentang tumanaurung, dengan adanya kabar orang yang turun dari langit tidak diketahui pula siapa ayah dan ibunya serta tidak diketahui asal usulnya (Zainal Abidin 1999)

Sementara Hedy Ahimsa yang menekankan penelitiannya pada hubungan patron client di Sulsel menyebutkan mitos kedatangan tomanurung merupakan salah satu bentuk legitimasi yang menyebabakan raja-raja kecil tunduk pada tomanurung dan turunan-turunannya secara sukalera, setelah melalui proses perjanjian yang mengikat mereka. Dengan demikian menurut Hedy sangat jelas ideologi patron client tampak ditanamkan cerita-cerita mitos asal usul kerajaan dan hubungan poltik antar bagianya yang diutarakan dalam istilah minawang. Atau dalam hal ini adalah kasuwiyang.



Perjanjian bete salapang dengan tomaniurung: suatu ikatan kontrak sosial

Konon di sebuah tempat bernama Takak Bassia seorang wanita anngun turun dari Kayangan, sembilan kasuwiyang bersama satu pacalaya menghadap wanita tersebut. mereka lalu berikrar dalam satu keputusan politis, seperti berikut ini:

“kami semua datang untuk mengambil engkau menjadi raja kami”
Sang Tumanunrunga menjawab, “Engkau pertuan kami, masih menumbuk, masih mengambil air”.

Berkata lagi Paccallayya dan sembilan raja, “sedangkan istri kami tidak menumbuk, tidak mengambilair, apalagi Engkau yang kami pertuan”.
Lalu Tumanurunga bangkit, dan rela diangkat menjadi raja. Sejak saat itu Gowa memiliki seorang pemimpin baru, seorang raja yang turun dari langit.
Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga (sembilan pengabdi, raja-raja kecil yang berubah jabatannya sejak naiknya Tumanurunga menjadi raja Gowa. Kadang juga disebut Bate Salapang atau Sembilan Pemegang Bendera) membangun sebuah istana yang besarnya sembilan petak di Takak Basia untuk Tumanurunga, kemudian istana itu dinamai Tammalate, yang artinya Tidak Layu. Dinamai demikian karena daun-daun darikayu yang dijadikan istana itu belum layu sewaktu istana selesai dibangun.


Tumanurunga begitu termasyhur akan kecantikan dan kebijaksanaannya. Kabar mengenainya terus tersebar ke luar wilayah Gowa. Maka datanglah raja-raja dari negeri lain untuk tunduk kepada Tumanurunga.

Namun lama setelah Tumanurunga menjadi raja, Kasuwiang Salapanga menjadi khawatir karena sang Raja Wanita belum juga memiliki pendamping. Kelak jika raja mangkat, dan belum juga mempunyai keturunan maka Gowa akan kembali menjadi kacau balau.

Pada saat itu datanglah dua pemuda masuk ke Gowa dari arah selatan. Dua pemuda bersaudara dan tidak jelas asal usulnya, namun konon berasal dari Tana Toraja. Yang satu bernama Karaeng Bayo, dan saudaranya bernama Lakipadada. Karaeng Bayo memiliki sebuah kelewang (badik) yang bernama Tanruballanga, dan Lakipadada memiliki sebuah kelewang yang dinamai Sudanga. (konon kedatangan Lakipadada ke Gowa dengan bergantungan di cakar seekor burung garuda).
Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga yang mengetahui kedatangan dua pemuda tadi bergegas menemui keduanya dengan maksud mempersuami-isterikan Karaeng Bayo dengan Tumanurunga.


Berkatalah Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga, “kami datang mengambil Engkau untuk mempersuami-isterikan Engkau dengan raja kami”.

Karaeng Bayo menjawab, “sedangkan Engkau si empunya negeri menurunkan kami ke dalam lubang tanah kami berdiam diri, apalagi Engkau naikkan kami ke puncak pohon kelapa. Sudah tentu hal itu sangat menggembirakan hati kami”.
Maka bertempat di Tammalate, dilaksanakanlah pernikahan antara Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga dengan upacara kebesaran menurut adat istiadat kerajaan Gowa. Seluruh rakyat riuh dalam suka cita, bersyukur kepada Dewata atas berlangsungnya perkawinan itu.

Beberapa waktu setelah itu, antara Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurung, serta Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga diucapkan ikrar yang akan selalu diingat oleh rakyat Gowa. Ikrar tersebut berbunyi
Karaeng Bayo Berkata kepada Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga :

Bahwasanya Engkau angkat kami menjadi rajamu. Kami bersabda dan Engkau tunduk patu. Kami adalah angin, Engkau adalah daun kayu.
Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga menjawab :

Bahwasanya kami telah mengangkat engkau menjadi raja kami, Engkau adalah raja dan kami adalah hamba rakyat tuanku.

Engkau adalah sangkutan tempat bergantung, kami adalah lau (tempat air tuak, terbuat dari kulit labu). Kalau sangkutan tempat bergantung patah dan lau tidak pecah, kami mati.
Kami tidak akan tertikam oleh senjatamu, engkaupun tidak tertikam oleh senjata kami.
Hanya Dewata yang membunuh kami, engkaupun hanya Dewata yang membunuhmu.
Bertitahlah Engkau dan kami tunduk patuh. Kalau kami menjunjung, maka kami tidakmemikul, kalau kami memikul maka kami tidak menjunjung.
Engkau adalah angin, kami adalah daun kayu. Akan tetapihanya daun kayu yang telah menguning sajalah Engkau luluhkan.

Engkau adalah air dan kami adalah batang hanyut. Akan tetapi hanya air pasang yang besar saja yang dapat menghanyutkan.
Walaupun anak kami, walaupun isteri kami, jika kerajaan tidak menyukainya, maka kami pun tidak menyukainya.

Bahwasanya kami mempertuan Engkau, bukan harta benda kami.
Engkau tidak akan mengambil ayam dari kandang ayam kami, engkau tidak akan mengambil terlur ayam dari pekarangan kami, tidak mengambil kelapa kami sebutirpun dan tidak mengambil pinang setandanpun dari kami.


Jika Engkau mengingini barang kepunyaan kami, Engkau membelinya yang patut dibeli, Engkau menggantinya yang patut diganti, Engkau memintanya yang patut diminta, dan kami akan memberikan kepada Engkau, Engkau tidak boleh terus mengambil begitu saja milik kami.

Raja tidak akan memutuskan hal ikhwal di dalam negeri jika gallarang tidak hadir dan gallarang tidak mengambil keputusan tentang sooal perang jika raja tidak hadir.
Lalu Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga menerima ikrar bersama tersebut.
Dari pernikahan Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga lahir seorang putra dengan kondisi tidak biasa. Dia lahir setelah tiga tahun lamanya di dalam kandungan. Dia dapat berbicara dan berlari sesaat setelah dilahirkan. Ia pun disebut Tau Assala-salang (Orang Kerukut).
Anak itu diberi nama Tumassalangnga Baraya. Diberi nama seperti itu karena memiliki bahu yang tidak rata. Sebelah telinganya memiliki benjolan, dan sebelah lainnya berbentuk lebar tidak normal. Telapak kakinya sama panjang antara depan dan belakang, dan pusarnya seperti bakuk karaeng.


Maka bersabdalah bundanya, “mengapaanakku seorang-orang kerukut karena bahunya miring, telinganya seperti bukit yang melambai-lambai, rambut yang putus di Jawa dapat didengarnya. Kerbau putih mati di Selayar tercium olehnya. Burung merpati yang ada di Bantaeng dapat dilihatnya. Kakinya seperti timbangan, pusarnya bagaikan mta air, tangannya pandai menikam. Siapa yang menyembah kepadanya bertahil-tahil emasnya. Siapa yang menyembah dia akan dimohonkannya berkat keselamatan. Siapa yang menyembah dia akan menjadi rakyatnya”.


Mitos sebagai sebauh identitas cultural

Pada masa lampau, mitos berdetak di setiap jantung perabadan. Mitos bukanlah sekadar dongeng, tetapi nalar sebuah pengetahuan. Mitos Isis dan Osiris di daratan Mesir, Odysseus di Yunani, Jonggrang di tanah Jawa, Mahatala dan Putir di bumi Kalimantan sampai dengan Rangda di Pulau Bali, semua bukanlah hanya dongeng.
Sam halnya ketika mendudukan tomanurung sebgai mitos yang mengakar dari dari tardisi budaya makassar menjadi santapa manis bagi sejarah daerah ini. Namun perlu ditekankan sejarah dalam term krtisnya harus dilihat Ketika mitos menjadi urat nadi peradaban, tidak sedikit kearifan dihasilkan. Banyak mitos menabukan tindakan manusia dalam menebang pohon, membunuh satwa, mengambil air, mengotori pantai, menggempur gunung ataupun mengaduk-aduk isi bumi dengan semena-mena. Pohon, satwa, tanah, air, udara bukanlah benda- benda kosong dan profan tanpa makna dan diperlukan dengan sekehendak hati. Namun, semua harus dijaga, dirawat, dan dihormati.
Kini, peradaban telah bergeser dan nalar mitos pun mulai dipinggirkan. Seiring waktu, manusia kontemporer memilih semesta dan rumah baru pengetahuan yang bernama filsafat, sains, dan agama monoteis. Ketiga pendatang baru ini cenderung menempatkan dirinya sebagai entitas yang lebih tinggi, bahkan sebagai pengganti awan hitam (mitos). kini alas pikirsejarah dan peradaban masa lalau nyaris kehilangan jejak, justru yang ada hanyalah sebongka keangkuhan yang setali mata unag dengan kekuasaan. mitos tominrung terlajur menjadi alaur cerita manis tentang legitimasi kekuasaan hingga mengakar sampai detik ini.


Sumber :
Buku Sejarah Gowa, karya Abd. Razak Daeng Patunru, 1993

Sejarah Kerajaan Gowa



Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.

Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).

Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara). Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar.

Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.

Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.

Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.

Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.

Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:

“Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”

Yang artinya sebagai berikut:

“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”.

Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:

1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.

Yang artinya sebagai berikut :

1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.

Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).

Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).

Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.




Sumber : http://sulawesiparasangangku.blogspot.com

- Copyright © COLIKERS - Colikers - Powered by Blogger - Designed by Colikers -